'Tindihan' dan Lihat Hantu Saat Bangun Tidur? Ini yang Terjadi
California - Malam itu sungguh mengerikan bagi Salma, gadis 20
tahun yang berkuliah di American University, Kairo, Mesir. Ia tiba-tiba
terbangun, tubuhnya kaku, tak bisa bergerak, dan merasa ada penyusup
yang masuk ke kamar tidurnya.
Ia melihat makhluk mengerikan, bertaring dan penuh darah. Penampakan seperti yang ada di film horor itu berdiri di sebelah tempat tidurnya. Merinding...
Salma menceritakan pengalaman horornya itu kepada para peneliti yang sedang melakukan survei tentang sleep paralysis atau kelumpuhan tidur -- keadaan ketidakmampuan bergerak ketika sedang tidur ataupun saat bangun tidur. Di Indonesia dikenal dengan istilah 'tindihan'.
Hampir 40 persen manusia pernah mengalami kelumpuhan tidur dalam hidupnya. Beberapa dari mereka, seperti halnya Salma, mengalami halusinasi seram.
"Kelumpuhan tidur bisa menjadi pengalaman mengerikan bagi sejumlah orang. Pemahaman yang jelas tentang apa yang sebenarnya terjadi, apa yang sesungguhnya menyebabkan hal itu, akan membawa implikasi luar biasa bagi penderitanya," kata ahli syaraf dari University of California, San Diego, Amerika Serikat, Baland Jalal, seperti Liputan6.com kutip dari situs sains LiveScience, Jumat 16 Januari 2015.
Para peneliti mengatakan, kelumpuhan tidur terjadi saat seseorang terbangun dalam tahapan tidur yang diketahui sebagai rapid eye movement (REM) -- kondisi tidur yang ditandai dengan gerakan cepat dan acak dari mata.
Orang yang berada dalam tahapan ini biasanya sedang bermimpi, tapi otot-otot mereka hampir lumpuh, yang mungkin merupakan adaptasi evolusioner yang menjaga seseorang melakukan gerakan seperti yang ada dalam mimpinya.
Yang sulit dijelaskan adalah mengapa orang-orang yang mengalami kelumpuhan tidur merasa ada sosok mengancam yang menyusup ke kamar tidur mereka. Lalu makhluk itu menekan dada mereka hingga sesak nafas.
Salah satu penjelasan ilmiah yang masuk akal adalah bahwa halusinasi salah satu cara otak membersihkan kebingungan -- yang terjadi ketika terjadi gangguan di wilayah otak yang mengandung peta saraf tubuh atau "diri" seseorang. Demikian menurut artikel terbaru yang diterbitkan Baland Jalal dan koleganya Vilayanur Ramachandran dari UC San Diego, yang dipublikasikan Medical Hypotheses.
"Mungkin, dalam suatu bagian otak, tertanam secara genetik gambaran tentang tubuh -- mirip template," kata Jalal.
Dalam studi sebelumnya menunjukkan, bagian otak yang dimaksud adalah parietal lobes -- bagian dari otak besar, terletak di bagian atas kepala.
Ada kemungkinan, selama terjadi kelumpuhan tidur, parietal lobes memonitor syaraf-syaraf di otak yang memerintahkan untuk bergerak, namun tidak mendeteksi gerakan sesungguhnya pada kaki yang lumpuh sementara itu.
Hal tersebut diduga menyebabkan gangguan pada bagaimana otak membangun perasaan tentang citra tubuh seseorang. Penampakan makhluk mengerikan yang menyusup bisa jadi adalah dampak ketika otak mencoba untuk memproyeksikan citra tubuh orang itu sendiri ke figur halusinasi.
Ide tersebut, meski menantang dan menarik, sulit untuk dibuktikan secara ilmiah. Salah satu cara untuk mengumpulkan bukti apa yang sebenarnya terjadi dalam otak selama kelumpuhan tidur adalah dengan menguji sejumlah orang yang punya citra diri berbeda.
Misalnya, jika ide tersebut benar, orang yang kehilangan anggota badannya seperti kaki akan berhalusinasi melihat makhluk yang juga kehilangan satu kakinya. Dan melakukannya percobaan semacam itu tak akan mudah.
Ia melihat makhluk mengerikan, bertaring dan penuh darah. Penampakan seperti yang ada di film horor itu berdiri di sebelah tempat tidurnya. Merinding...
Salma menceritakan pengalaman horornya itu kepada para peneliti yang sedang melakukan survei tentang sleep paralysis atau kelumpuhan tidur -- keadaan ketidakmampuan bergerak ketika sedang tidur ataupun saat bangun tidur. Di Indonesia dikenal dengan istilah 'tindihan'.
Hampir 40 persen manusia pernah mengalami kelumpuhan tidur dalam hidupnya. Beberapa dari mereka, seperti halnya Salma, mengalami halusinasi seram.
"Kelumpuhan tidur bisa menjadi pengalaman mengerikan bagi sejumlah orang. Pemahaman yang jelas tentang apa yang sebenarnya terjadi, apa yang sesungguhnya menyebabkan hal itu, akan membawa implikasi luar biasa bagi penderitanya," kata ahli syaraf dari University of California, San Diego, Amerika Serikat, Baland Jalal, seperti Liputan6.com kutip dari situs sains LiveScience, Jumat 16 Januari 2015.
Para peneliti mengatakan, kelumpuhan tidur terjadi saat seseorang terbangun dalam tahapan tidur yang diketahui sebagai rapid eye movement (REM) -- kondisi tidur yang ditandai dengan gerakan cepat dan acak dari mata.
Orang yang berada dalam tahapan ini biasanya sedang bermimpi, tapi otot-otot mereka hampir lumpuh, yang mungkin merupakan adaptasi evolusioner yang menjaga seseorang melakukan gerakan seperti yang ada dalam mimpinya.
Yang sulit dijelaskan adalah mengapa orang-orang yang mengalami kelumpuhan tidur merasa ada sosok mengancam yang menyusup ke kamar tidur mereka. Lalu makhluk itu menekan dada mereka hingga sesak nafas.
Salah satu penjelasan ilmiah yang masuk akal adalah bahwa halusinasi salah satu cara otak membersihkan kebingungan -- yang terjadi ketika terjadi gangguan di wilayah otak yang mengandung peta saraf tubuh atau "diri" seseorang. Demikian menurut artikel terbaru yang diterbitkan Baland Jalal dan koleganya Vilayanur Ramachandran dari UC San Diego, yang dipublikasikan Medical Hypotheses.
"Mungkin, dalam suatu bagian otak, tertanam secara genetik gambaran tentang tubuh -- mirip template," kata Jalal.
Dalam studi sebelumnya menunjukkan, bagian otak yang dimaksud adalah parietal lobes -- bagian dari otak besar, terletak di bagian atas kepala.
Ada kemungkinan, selama terjadi kelumpuhan tidur, parietal lobes memonitor syaraf-syaraf di otak yang memerintahkan untuk bergerak, namun tidak mendeteksi gerakan sesungguhnya pada kaki yang lumpuh sementara itu.
Hal tersebut diduga menyebabkan gangguan pada bagaimana otak membangun perasaan tentang citra tubuh seseorang. Penampakan makhluk mengerikan yang menyusup bisa jadi adalah dampak ketika otak mencoba untuk memproyeksikan citra tubuh orang itu sendiri ke figur halusinasi.
Ide tersebut, meski menantang dan menarik, sulit untuk dibuktikan secara ilmiah. Salah satu cara untuk mengumpulkan bukti apa yang sebenarnya terjadi dalam otak selama kelumpuhan tidur adalah dengan menguji sejumlah orang yang punya citra diri berbeda.
Misalnya, jika ide tersebut benar, orang yang kehilangan anggota badannya seperti kaki akan berhalusinasi melihat makhluk yang juga kehilangan satu kakinya. Dan melakukannya percobaan semacam itu tak akan mudah.
Keyakinan Supranatural
Baland Jalal mengatakan, dimungkinkan sejumlah orang mengalami pengalaman berbeda terkait kelumpuhan tidur akibat perbedaan keyakinan atau kulturnya.
Riset sebelumnya menemukan bahwa ide-ide tertentu yang ada dalam kultur seseorang bisa membentuk fenomena tertentu yang mereka alami.
Misalnya, dalam studi yang dipublikasikan dalam jurnal Cultural, Medicine, and Psychiatry pada 2013, Jalal dan koleganya, Devon Hinton, dari Harvard Medical School meneliti tingkat kelumpuhan tidur dan tekanan yang dirasakan sejumlah orang yang memiliki latar belakang sosial berbeda.
Hasilnya, mereka menemukan bahwa dibandingkan subjek di Denmark, orang Mesir mengalami kelumpuhan tidur lebih sering dan memiliki episode lebih lama yang disertai dengan rasa takut bakal mati akibat pengalaman itu.
"Dua orang itu punya latar belakang budaya yang berbeda. Mesir sangat religius, sementara Denmark adalah salah satu negara paling ateis di dunia."
Sebagian subjek penelitian di Denmark yakin, kelumpuhan tidur disebabkan faktor psikologis, gangguan otak, atau salah tidur. Sementara orang Mesir percaya, sleep paralysis disebabkan fenomena supranatural.
Dalam survei berbeda, setengah partisipan dari Mesir meyakini, kelumpuhan tidur mereka ditimbulkan oleh jin. Demikian seperti dipublikasikan dalam jurnal Transcultural Psychiatry pada 2014.
Jalal dan para koleganya menyimpulkan bahwa orang dengan keyakinan supranatural cenderung lebih takut mengalami kelumpuhan tidur, juga episode yang lebih lama.
Padahal, rasa takut berkontribusi membuat episode kelumpuhan tidur seseorang makin parah. Atau sebaliknya. "Jika seseorang menyimpan rasa takut, aktivasi pusat-pusat rasa takut di otak kemungkinan sepenuhnya terbangun saat kelumpuhan tidur terjadi, dan terjadilah pengalaman horor itu," kata Jalal. "Dengan mengalami itu semua, rasa takut akan berlipat. Dan itu makin memperkuat keyakinan kultural yang dimiliki. Dan seterusnya."
Jalal mengatakan, dengan menemukan penjelasan ilmiah terkait kelumpuhan tidur diharapkan bisa membantu para penderitanya -- pada mereka yang mengalami episode yang sangat menakutkan dan stres karena menganggap fenomena itu terkait dengan makhluk gaib.
California - Malam itu sungguh mengerikan bagi Salma, gadis 20
tahun yang berkuliah di American University, Kairo, Mesir. Ia tiba-tiba
terbangun, tubuhnya kaku, tak bisa bergerak, dan merasa ada penyusup
yang masuk ke kamar tidurnya.
Ia melihat makhluk mengerikan, bertaring dan penuh darah. Penampakan seperti yang ada di film horor itu berdiri di sebelah tempat tidurnya. Merinding...
Salma menceritakan pengalaman horornya itu kepada para peneliti yang sedang melakukan survei tentang sleep paralysis atau kelumpuhan tidur -- keadaan ketidakmampuan bergerak ketika sedang tidur ataupun saat bangun tidur. Di Indonesia dikenal dengan istilah 'tindihan'.
Hampir 40 persen manusia pernah mengalami kelumpuhan tidur dalam hidupnya. Beberapa dari mereka, seperti halnya Salma, mengalami halusinasi seram.
"Kelumpuhan tidur bisa menjadi pengalaman mengerikan bagi sejumlah orang. Pemahaman yang jelas tentang apa yang sebenarnya terjadi, apa yang sesungguhnya menyebabkan hal itu, akan membawa implikasi luar biasa bagi penderitanya," kata ahli syaraf dari University of California, San Diego, Amerika Serikat, Baland Jalal, seperti Liputan6.com kutip dari situs sains LiveScience, Jumat 16 Januari 2015.
Para peneliti mengatakan, kelumpuhan tidur terjadi saat seseorang terbangun dalam tahapan tidur yang diketahui sebagai rapid eye movement (REM) -- kondisi tidur yang ditandai dengan gerakan cepat dan acak dari mata.
Orang yang berada dalam tahapan ini biasanya sedang bermimpi, tapi otot-otot mereka hampir lumpuh, yang mungkin merupakan adaptasi evolusioner yang menjaga seseorang melakukan gerakan seperti yang ada dalam mimpinya.
Yang sulit dijelaskan adalah mengapa orang-orang yang mengalami kelumpuhan tidur merasa ada sosok mengancam yang menyusup ke kamar tidur mereka. Lalu makhluk itu menekan dada mereka hingga sesak nafas.
Salah satu penjelasan ilmiah yang masuk akal adalah bahwa halusinasi salah satu cara otak membersihkan kebingungan -- yang terjadi ketika terjadi gangguan di wilayah otak yang mengandung peta saraf tubuh atau "diri" seseorang. Demikian menurut artikel terbaru yang diterbitkan Baland Jalal dan koleganya Vilayanur Ramachandran dari UC San Diego, yang dipublikasikan Medical Hypotheses.
"Mungkin, dalam suatu bagian otak, tertanam secara genetik gambaran tentang tubuh -- mirip template," kata Jalal.
Dalam studi sebelumnya menunjukkan, bagian otak yang dimaksud adalah parietal lobes -- bagian dari otak besar, terletak di bagian atas kepala.
Ada kemungkinan, selama terjadi kelumpuhan tidur, parietal lobes memonitor syaraf-syaraf di otak yang memerintahkan untuk bergerak, namun tidak mendeteksi gerakan sesungguhnya pada kaki yang lumpuh sementara itu.
Hal tersebut diduga menyebabkan gangguan pada bagaimana otak membangun perasaan tentang citra tubuh seseorang. Penampakan makhluk mengerikan yang menyusup bisa jadi adalah dampak ketika otak mencoba untuk memproyeksikan citra tubuh orang itu sendiri ke figur halusinasi.
Ide tersebut, meski menantang dan menarik, sulit untuk dibuktikan secara ilmiah. Salah satu cara untuk mengumpulkan bukti apa yang sebenarnya terjadi dalam otak selama kelumpuhan tidur adalah dengan menguji sejumlah orang yang punya citra diri berbeda.
Misalnya, jika ide tersebut benar, orang yang kehilangan anggota badannya seperti kaki akan berhalusinasi melihat makhluk yang juga kehilangan satu kakinya. Dan melakukannya percobaan semacam itu tak akan mudah.
Ia melihat makhluk mengerikan, bertaring dan penuh darah. Penampakan seperti yang ada di film horor itu berdiri di sebelah tempat tidurnya. Merinding...
Salma menceritakan pengalaman horornya itu kepada para peneliti yang sedang melakukan survei tentang sleep paralysis atau kelumpuhan tidur -- keadaan ketidakmampuan bergerak ketika sedang tidur ataupun saat bangun tidur. Di Indonesia dikenal dengan istilah 'tindihan'.
Hampir 40 persen manusia pernah mengalami kelumpuhan tidur dalam hidupnya. Beberapa dari mereka, seperti halnya Salma, mengalami halusinasi seram.
"Kelumpuhan tidur bisa menjadi pengalaman mengerikan bagi sejumlah orang. Pemahaman yang jelas tentang apa yang sebenarnya terjadi, apa yang sesungguhnya menyebabkan hal itu, akan membawa implikasi luar biasa bagi penderitanya," kata ahli syaraf dari University of California, San Diego, Amerika Serikat, Baland Jalal, seperti Liputan6.com kutip dari situs sains LiveScience, Jumat 16 Januari 2015.
Para peneliti mengatakan, kelumpuhan tidur terjadi saat seseorang terbangun dalam tahapan tidur yang diketahui sebagai rapid eye movement (REM) -- kondisi tidur yang ditandai dengan gerakan cepat dan acak dari mata.
Orang yang berada dalam tahapan ini biasanya sedang bermimpi, tapi otot-otot mereka hampir lumpuh, yang mungkin merupakan adaptasi evolusioner yang menjaga seseorang melakukan gerakan seperti yang ada dalam mimpinya.
Yang sulit dijelaskan adalah mengapa orang-orang yang mengalami kelumpuhan tidur merasa ada sosok mengancam yang menyusup ke kamar tidur mereka. Lalu makhluk itu menekan dada mereka hingga sesak nafas.
Salah satu penjelasan ilmiah yang masuk akal adalah bahwa halusinasi salah satu cara otak membersihkan kebingungan -- yang terjadi ketika terjadi gangguan di wilayah otak yang mengandung peta saraf tubuh atau "diri" seseorang. Demikian menurut artikel terbaru yang diterbitkan Baland Jalal dan koleganya Vilayanur Ramachandran dari UC San Diego, yang dipublikasikan Medical Hypotheses.
"Mungkin, dalam suatu bagian otak, tertanam secara genetik gambaran tentang tubuh -- mirip template," kata Jalal.
Dalam studi sebelumnya menunjukkan, bagian otak yang dimaksud adalah parietal lobes -- bagian dari otak besar, terletak di bagian atas kepala.
Ada kemungkinan, selama terjadi kelumpuhan tidur, parietal lobes memonitor syaraf-syaraf di otak yang memerintahkan untuk bergerak, namun tidak mendeteksi gerakan sesungguhnya pada kaki yang lumpuh sementara itu.
Hal tersebut diduga menyebabkan gangguan pada bagaimana otak membangun perasaan tentang citra tubuh seseorang. Penampakan makhluk mengerikan yang menyusup bisa jadi adalah dampak ketika otak mencoba untuk memproyeksikan citra tubuh orang itu sendiri ke figur halusinasi.
Ide tersebut, meski menantang dan menarik, sulit untuk dibuktikan secara ilmiah. Salah satu cara untuk mengumpulkan bukti apa yang sebenarnya terjadi dalam otak selama kelumpuhan tidur adalah dengan menguji sejumlah orang yang punya citra diri berbeda.
Misalnya, jika ide tersebut benar, orang yang kehilangan anggota badannya seperti kaki akan berhalusinasi melihat makhluk yang juga kehilangan satu kakinya. Dan melakukannya percobaan semacam itu tak akan mudah.
Keyakinan Supranatural
Baland Jalal mengatakan, dimungkinkan sejumlah orang mengalami pengalaman berbeda terkait kelumpuhan tidur akibat perbedaan keyakinan atau kulturnya.
Riset sebelumnya menemukan bahwa ide-ide tertentu yang ada dalam kultur seseorang bisa membentuk fenomena tertentu yang mereka alami.
Misalnya, dalam studi yang dipublikasikan dalam jurnal Cultural, Medicine, and Psychiatry pada 2013, Jalal dan koleganya, Devon Hinton, dari Harvard Medical School meneliti tingkat kelumpuhan tidur dan tekanan yang dirasakan sejumlah orang yang memiliki latar belakang sosial berbeda.
Hasilnya, mereka menemukan bahwa dibandingkan subjek di Denmark, orang Mesir mengalami kelumpuhan tidur lebih sering dan memiliki episode lebih lama yang disertai dengan rasa takut bakal mati akibat pengalaman itu.
"Dua orang itu punya latar belakang budaya yang berbeda. Mesir sangat religius, sementara Denmark adalah salah satu negara paling ateis di dunia."
Sebagian subjek penelitian di Denmark yakin, kelumpuhan tidur disebabkan faktor psikologis, gangguan otak, atau salah tidur. Sementara orang Mesir percaya, sleep paralysis disebabkan fenomena supranatural.
Dalam survei berbeda, setengah partisipan dari Mesir meyakini, kelumpuhan tidur mereka ditimbulkan oleh jin. Demikian seperti dipublikasikan dalam jurnal Transcultural Psychiatry pada 2014.
Jalal dan para koleganya menyimpulkan bahwa orang dengan keyakinan supranatural cenderung lebih takut mengalami kelumpuhan tidur, juga episode yang lebih lama.
Padahal, rasa takut berkontribusi membuat episode kelumpuhan tidur seseorang makin parah. Atau sebaliknya. "Jika seseorang menyimpan rasa takut, aktivasi pusat-pusat rasa takut di otak kemungkinan sepenuhnya terbangun saat kelumpuhan tidur terjadi, dan terjadilah pengalaman horor itu," kata Jalal. "Dengan mengalami itu semua, rasa takut akan berlipat. Dan itu makin memperkuat keyakinan kultural yang dimiliki. Dan seterusnya."
Jalal mengatakan, dengan menemukan penjelasan ilmiah terkait kelumpuhan tidur diharapkan bisa membantu para penderitanya -- pada mereka yang mengalami episode yang sangat menakutkan dan stres karena menganggap fenomena itu terkait dengan makhluk gaib.
No comments