FEROMON, DARI SERANGGA UNTUK SERANGGA
 Namanya  Jean-Henri Fabre. Ia tak pernah sekolah tinggi, tak pernah pula  mengajar di universitas. Pendidikan tinggi dinikmatinya 3 tahun saja. Di  usia 19 tahun, Fabre memulai karir sederhana sebagai guru di Avignon.
Pak  guru yang satu ini bukan sembarang pengajar, ia punya minat yang kuat  ke alam. Fabre betah duduk berjam-jam mengamati kehidupan-kehidupan  kecil yang sibuk sendiri di beranda belakang rumahnya. Bukan cuma duduk  diam, Fabre membuat catatan dan eksperimen-eksperimennya sendiri.  Autodidak sejati, Fabre juga melatih diri melukis illustrasi buat  catatan-catatan pengamatan dan eksmerimen pribadi. Dari hasil pengamatan  dan eksperimennya, Fabre kemudian menerbitkan 10 seri ensiklopedia  tentang serangga ‘Souvenirs Entomologiques’ yang di kemudian hari diakui  sebagai karya klasik dalam dunia akademik Perancis.Tak  kurang dari  Charles Darwin, Jhon Stuart Mill dan Louis Pasteur, raksasa-raksasa  sains dan filosofi jaman itu mengagumi Fabre karena kecermatan dan detil  pengamatannya.
Di  satu musim semi tahun 1870 an, Fabre menghabiskan paginya mengamati  ngengat ‘great peacock’ betina keluar dari kepompongnya. Puas dengan  pengamatannya, Fabre meletakkan ngengat yang baru keluar dari kepompong  itu di kandang kawat di meja belajar. Jam 9 malam di hari yang sama,  rasa puas Fabre berubah jadi takjub ketika ia menemukan lusinan ngengat  jantan berkumpul merubung kandang kawat di meja studinya. “Mereka datang  dari segala penjuru tanpa aku tahu bagaimana mereka menemukan betina di  mejaku...” tulis Fabre.
Penasaran,  Fabre menghabiskan tahun-tahun berikutnya mempelajari bagaimana  ngengat-ngengat jantan ‘menemukan’ betina-betinanya. Fabre sampai pada  kesimpulan kalau ngengat betina menghasilkan ‘zat kimia’ tertentu yang  baunya menarik ngengat-ngengat jantan. Dengan kesimpulan Fabre ini,  mulailah seluruh lapangan penelitian baru tentang feromon.
Feromon,  dari akar bahasa Yunani ‘phero’ yang artinya ‘pembawa’ dan ‘mone’ yang  kurang lebih artinya ‘sensasi’. Feromon adalah ‘zat kimia’ yang dimaksud  Fabre seratus tahun yang lalu. Beberapa dekade setelah Fabre, feromon  pertama ditemukan pada serangga oleh ilmuwan Jerman, Adolph Butenandt.  Di kemudian hari, sains menemukan bahwa feromon bukan hanya digunakan  oleh serangga, namun juga beberapa mamalia dan tanaman, untuk  berkomunikasi.
Ketika  pertama kali ditemukan pada serangga, feromon banyak dikaitkan dengan  fungsi reproduksi serangga. Dengan kata lain, dunia sains mula-mula  ngelihat feromon sebagai padanan ‘parfum’ di dunia manusia.
Bukan sekedar parfum nona serangga
Seiring  dengan berkembangnya riset feromon, kita jadi mengerti kalau ternyata  serangga menghasilkan bermacam-macam zat kimia yang mempengaruhi  perilaku serangga sejenis lainnya. Semut misalnya, menghasilkan feromon  untuk menarik perhatian teman-teman satu sarang untuk gotong-royong  mengangkut makanan dari sumbernya kembali ke sarang. Itu sebabnya kita  sering melihat semut berjalan beriring-iring. Beberapa spesies lalat,  ngengat dan kumbang juga menghasilkan feromon tertentu yang dioleskan ke  tempat dia meletakkan telur-telurnya. Feromon ini kemudian mencegah  individu lalat, ngengat atau kumbang lain untuk menaruh telur di tempat  yang sama, mengurangi kompetisi buat serangga-serangga baru yang  nantinya menetas dari telur tadi.
Aphids,  serangga herbivora yang sering jadi hama pertanian, punya feromon  alarm. Aphids punya segudang musuh alami, dari kumbang yang mampu makan  seratus aphid sehari sampai tawon yang gemar meletakkan telur di dalam  tubuh pahid. Kalau seekor aphid mendeteksi keberadaan kumbang  predator  di dekatnya, ia langsung menghasilkan feromon alarm. Ketika aphid-aphid  lain mencium feromon alarm tadi, mereka pun kontan melarikan diri.
Saat  ini, feromon tak lagi dilihat semata-mata sebagai parfum nona serangga.  Dalam biologi feromon didefinisikan secara lebih luas sebagai zat kimia  apapun yang dihasilkan satu organisme yang dapat memicu respon  tertentupada  individu lain dari spesies yang sama. Respon yang dipicu  dapat berupa perubahan fisiologis ataupun perubahan perilaku.  Feromon-feromon di atas (alarm, seks) termasuk dalam jenis feromon yang  memicu respon perilaku. Salah satu contoh feromon yang memicu perubahan  fisiologis adalah Queen mandibular pheromone (QMP) yang dilepas oleh  ratu lebah. QMP adalah feromon yang bertanggung jawab atas tertekannya  perkembangan ovarium pada lebah-lebah lain dari koloni bersangkutan  sehingga membatasi jumlah ratu dalam satu koloni.
Feromon dan perang melawan hama
Salah  satu aplikasi praktis yang telah sukses dipanen dari riset feromon  adalah pemakaiannya sebagai salah satu senjata melawan hama dalam  pertanian modern. Sebelum perang dunia kedua, insektisida bukanlah  senjata utama dalam pertanian dunia. Insektisida inorganik yang tersedia  di jaman itu seringkali sama berbahayanya ke petani sebagaimana mereka  berbahaya buat serangga hama. Namun di masa perang dunia II, berawal  dari riset pengendalian nyamuk vektor malaria dan deman berdarah yang  konon kabarnya bisa minta korban lebih banyak daripada bedil musuh,  insektisida organik pun ditemukan dengan DDT sebagai salah satu ikonnya.  Dengan ditemukannya insektisida organik dengan kadar toksisitas ke  mamalia relatif rendah, insektisida pun jadi senjata paling mudah lagi  murah buat pertanian dunia. Baru di era 1960an berbagai dampak negatif  pemakaian insektisida yang berlebihan (sebagai contoh: polusi air tanah,  akumulasi toksin di berbagai binatang predator, serangga hama resisten  dan resurgensi hama sekunder) terekspos. Dari kesadaran baru ini lahir  paradigma baru yang tidak lagi berporos pada pemakaian insektisida yang  asal hantam kromo. Paradigma pengendalian hama terpadu punya konsep  bahwa keberadaan serangga di lahan pertanian tidak selalu kemudian mesti  berujung pada tindakan manajemen. Jika populasi serangga bersangkutan  tidak lebih tinggi dari pada level tertentu yang merugikan petani,  tindakan managemen hama tidak perlu dilakukan. Dengan cara berpikir  macam ini, volume dan frekuensi pestisida yang dipakai dalam pertanian  dapat kemudian diturunkan. Menariknya, paradigma pengendalian hama  terpadu secara tidak langsung mengharuskan petani untuk dapat  memperkirakan ukuran populasi serangga hama di lahannya. Pertanyaannya,  mereka dapat melakukan pengukuran macam ini?Nah, di sinilah feromon  kemudian jadi berguna. Sampai sekarang, sudah lebih dari 1600 feromon  yang dipakai oleh berbagai serangga, termasuk serangga-serangga hama,  telah diidentifikasi. Setelah diidentifikasi, feromon ini dapat kemudian  disintesa dalam jumlah besar. Di berbagai bidang pertanian, feromon  sintetis ini banyak kemudian dipakai untuk memerangkap serangga. Dalam  produksi komoditas hortikultura di rumah kaca, perangkap serangga dapat  dipakai dengan filosofi ‘jebak-bunuh’.  Namun di perkebunan-perkebunan  yang tanahnya luas,filosofi 'jebak-bunuh' macam ini tidaklah efektif.  Dalam konteks perkebunan dengan  lahan luas, perangkap feromon dipakai  untuk memonitor populasi serangga di lahan bersangkutan . Ketika  perangkap feromon dipakai untuk memonitor populasi serangga, beberapa  perangkap dipasang di beberapa titik dalam satu perkebunan dan diperiksa  tiap selang waktu tertentu. Jika suatu saat jumlah populasi serangga  yang terjebak dalam perangkap-perangkap ini menunjukkan tren lonjakan  tinggi, para petani dapat kemudian memutuskan untuk mengaplikasikan  insektisida ke tanaman mereka.
Salah  satu metode lain yang memanfaatkan feromon sebagai metode pengendalian  hama dalam pertanian adalah dengan memasang sumber feromon sex  banyak-banyak di satu lahan perkebunan. Memang apa gunanya? Coba kamu  bayangkan dirimu sebagai seekor serangga jantan di musim kawin. Dalam  mencari pasangan, serangga lebih mengandalkan indra penciuman dari pada  penglihatan. Di musim kawin, feromon sex berfungsi sebagai sinyal  pemandu buat para pejantan untuk menemukan betinanya. Sekarang coba  bayangkan kamu terbang ke satu pertanaman karena tertarik pada aroma  feromon sex di sana. Namun begitu sampai di pertanaman itu, ternyata bau  feromon sex ini datang dari berbagai jurusan !!! Terbang kemari ... tak  ada betina tertemu, terbang ke sana sama aja, mondar-mandir,  bolak-balik ... sampai-sampai si pejantan jatuh kelelahan tanpa pernah  tertemu satupun betina!! Metode ini diklaim efektif, misalnya, dalam  beberapa percobaan pengendalian serangga pengorok daun Keiferia lycopersicella di  pertanaman tomat di Meksiko. Di kebun tomat di mana sumber feromon di  pasang banyak-banyak, hanya 4 % dari populasi serangga betinanya  berhasil berreproduksi. Sementara di kebun tanpa perlakuan feromon, 50 %  betinanya berhasil bereproduksi.
Selain  dipakai sebagai metode pengendalian hama dan pemonitor populasi  serangga, jebakan feromon juga dipakai dalam sistem deteksi dan pemetaan  penyebaran hama tertentu ke wilayah baru. Di Amerika, misalnya, lebih  dari 350.000 perangkap feromon disebar di berbagai  negara bagian tiap  tahunnya untuk mendeteksi penyebaran ngengat gipsi (gypsy moth), hama  berbagai spesies pohon. Kalau ngengat gipsi ditemukan di wilayah yang  sebelumnya bebas dari hama ini, pengendali hama di wilayah bersangkutan  dapat memulai program eradikasi. Dengan cara ini, penyebaran ngengat  gipsi bisa perlambat.


No comments